
Beli Rumah dengan Cara Over Kredit: Pernah ga sih kamu mendengar istilah over kredit rumah? Banyak orang menganggap cara ini sebagai jalan pintas untuk memiliki hunian tanpa ribet urusan bank. Prosesnya memang terlihat mudah: cukup melanjutkan cicilan dari pemilik lama, kamu pun bisa segera menempati rumah impian. Namun, tahukah kamu bahwa di balik kemudahan itu tersimpan risiko besar yang bisa menyeret kamu pada masalah hukum dan keuangan?
Mari kita bahas bersama agar kamu tidak salah langkah.
Kita akan beri contoh. seorang pembeli yang bernama Budi melanjutkan cicilan KPR rumah yang masih atas nama pemilik lama, Anton. Untuk memperkuat kesepakatan, keduanya membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan surat kuasa menjual.
Awalnya semua terlihat lancar. Namun, masalah mulai muncul saat Budi ingin menjual rumah itu kepada pembeli baru. Bank menolak memberikan salinan dokumen penting seperti sertifikat, IMB, dan PBB karena nama Budi tidak tercatat sebagai pemilik resmi.
Di sinilah letak masalahnya: meskipun ada PPJB dan surat kuasa, hak kepemilikan penuh tetap berada di tangan Anton sebagai debitur awal. Dokumen asli tetap dipegang oleh bank, dan Budi tidak punya kuasa penuh untuk mengaksesnya.
Baca juga: Perlukah Over Kredit Rumah di Notaris Diberitahukan ke Bank
Masalah makin pelik saat calon pembeli baru ingin mengajukan KPR. Pihak bank mensyaratkan adanya Akta Jual Beli (AJB) antara Anton dan Budi. Sayangnya, Anton sudah pindah ke luar kota dan bahkan telah bercerai.
Bank pun meminta kehadiran Anton dan mantan istrinya karena rumah tersebut tergolong harta gono-gini. Kondisi ini jelas mempersulit proses. Artinya, transaksi over kredit tidak hanya bergantung pada penjual, tetapi juga melibatkan pihak-pihak lain yang punya keterkaitan hukum dengan properti tersebut.
Banyak orang beranggapan bahwa dengan adanya surat kuasa notaris, transaksi over kredit jadi aman. Faktanya, tidak demikian.
Dalam video tersebut dijelaskan, akta notaris justru sering menyertakan klausul bahwa notaris hanya menjelaskan risiko kepada para pihak. Klausul ini bukan untuk melindungi pembeli, melainkan untuk melindungi notaris dari tuntutan hukum di kemudian hari.
Dengan kata lain, surat kuasa tidak bisa menggantikan status kepemilikan resmi di mata bank. Jika penjual hilang kontak atau menolak bekerja sama, pembeli bisa terjebak dalam situasi tanpa solusi.
Dari kasus ini kita bisa belajar bahwa transaksi over kredit rumah memang tampak praktis, tetapi sebenarnya sangat berisiko. Proses ini tidak diakui secara resmi oleh bank dan berpotensi menimbulkan masalah hukum yang rumit.
Langkah yang jauh lebih aman adalah membeli rumah sesuai prosedur resmi, dengan nama kamu tercatat di sertifikat dan dokumen bank. Memang butuh waktu dan usaha lebih, tapi itu sepadan dengan keamanan hukum dan finansial kamu di masa depan.
Transaksi over kredit rumah adalah jalan pintas yang penuh jebakan. kamu bisa saja tergiur dengan proses cepat dan biaya yang lebih ringan, tapi risikonya sangat besar: mulai dari kehilangan hak atas rumah, kesulitan menjual kembali, hingga terjerat masalah hukum yang berlarut-larut.
Jadi, sebelum memutuskan mengambil jalan ini, pertimbangkan matang-matang. Jangan sampai niat memiliki rumah impian malah berubah menjadi mimpi buruk.